Polemik Insentif BEV Impor, Untung atau Rugi?

FORWIN bahas soal polemik insentif BEV Impor yang bakal distop oleh pemerintah. AG-Uda
FORWIN bahas soal polemik insentif BEV Impor yang bakal distop oleh pemerintah. AG-Uda

Autogear - Berbicara tentang polemik insentif battery electric vehicle (BEV) impor, tentu bicara soal untung atau ruginya. Lalu akan dilihat dari kaca mata mana, apakah pemerintah, industri otomotifnya atau pun berkaitan dengan para pelaku perdagangan sektor otomotif dan komponennya. 

Pemerintah akan menyetop insentif mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) impor dalam bentuk utuh (completely built up/CBU) dalam rangka tes pasar dengan komitmen investasi. Hal itu sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2023 
jo. Nomor 1 tahun 2024. 

Berdasarkan aturan itu, impor BEV CBU dalam rangka tes pasar dengan komitmen investasi mendapatkan insenti bea masuk (BM) 0% dari tarif normal 50% dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) 0% dari 15%. Dengan demikian, BEV impor cukup bayar pajak 12% dari seharusnya 77%, sehingga diskonnya mencapai 65%. 

Insentif ini mulai berjalan pada Februari 2025, dengan batas waktu permohonan insentif pada 31 Maret 2025, dan batas waktu berakhirnya jatuh pada 31 Desember 2025. 

Baca Juga:
Fazzio Hybrid Gaya Skutik Kargo Ala Jepang, Bukti Kreativitas Barudak Bandung

Insentif ini diberikan dengan komitmen produksi sesuai roadmap tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sejumlah 1:1 untuk dapat klaim bank garansi. Selanjutnya, produksi dengan spesifikasi teknis minimal sama atau lebih tinggi, sesuai Peraturan Menteri Perindustrian 34 tahun 2024. 
Pelunasan komitmen produksi 1:1 dapat dilakukan hingga 31 Desember 2027. 

Lewat dari tahun 2027, sisa bank garansi diklaim pemerintah. Pada 2028, pemerintah bisa mengambil klaim bank garansi yang gagal dibayar utang produksinya oleh peserta program. 

Sementara itu, selama 2024-2026, TKDN BEV yang bisa mendapatkan insentif mencapai 40%, sedangkan pada 2027-2028 mencapai 60%. Merujuk ketentuan ini, hanya BEV yang mengikuti skema produksi program sesuai persyaratan TKDN yang bisa mendapatkan insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) 10%, sehingga cukup bayar 2%. 

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), peserta skema investasi CBU dengan komitmen investasi adalah BYD, Aion, Maxus, Vinfast, Geely, Citroen, VW, Xpeng, dan Ora. Lalu, peserta skema produksi sesuai TKDN antara lain Wuling, Chery, Aion, Hyundai, MG, dan Citroen. 

Selain insentif itu, BEV, entah itu impor maupun diproduksi di dalam negeri, bebas bea masuk kendaraan bermotor (BBNKB) dan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang dipungut pemerintah daerah. 

Baca Juga:
Honda CR-V e:FCEV, Kendaraan Resmi IAAF World Championships Tokyo 2025

Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (ILMATAP) Kemenperin Mahardi Tunggul Wicaksono menegaskan, sampai saat ini, belum ada rapat antar Kementerian terkait kelanjutan insentif BEV impor. 

“Artinya, bisa kita bilang insentif BEV impor  akan berakhir pada akhir 2025, sesuai regulasi yang ada,” ujar Tunggul dalam diskusi bertajuk Polemik Insentif BEV Impor yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Senin (25/8/2025). 

Sementara itu, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mengakui, insentif BEV impor dalam rangka tes pasar sukses meningkatkan adopsi mobil ini di Indonesia. Tetapi, hal ini menekan kinerja industri yang sudah lama eksis. 

GAIKINDO mencatat, utilisasi industri mobil turun dari 73% menjadi 55% tahun ini, seiring turunnya penjualan mobil domestik. Kinerja industri komponen juga terganggu, di mana beberapa perusahaan sudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Pada titik ini, harus ada kebijakan untuk menciptakan keseimbangan industri otomotif. Intinya, insentif yang dirilis harus menggerakkan semua pemain otomotif, entah itu ICE, HEV, BEV, hingga industri komponen. 

Kalangan akademisi menyetujui, insentif BEV impor sejatinya diakhiri. Sebab, insentif ini mendistorsi kinerja pemain BEV yang sudah membangun industri di Indonesia. Nilai tambah insentif BEV ke ekonomi juga rendah, karena hanya menyasar sektor perdagangan, bukan industri. Padahal, sektor manufaktur mobil yang selama ini menghasilkan nilai tambah tinggi. 

Jadi menurut Anda, siapa yang untung dan siapa yang rugi?


(uda)