Indonesia Berpotensi Besar Jadi Pemain Global di Industri Kendaraan Listrik

Mobil listrik MG sudah meramaikan pasar EV di Indonesia (Foto: Autogear.id/Alun Segoro)
Mobil listrik MG sudah meramaikan pasar EV di Indonesia (Foto: Autogear.id/Alun Segoro)

Autogear.id - Fenomena electric vehicle (EV), kendaraan listrik, di dunia semakin menggurita pertumbuhannya. Tak dapat dipungkiri, Indonesia sebagai negara potensial di bidang industri otomotif harus berkontribusi lebih di dalamnya.

Kendaraan listrik baterai akan menjadi masa depan moda transportasi di Indonesia. Pemerintah menargetkan produksi EV pada 2030 lebih dari 600 ribu unit, untuk roda empat, dan 2,45 juta unit roda dua. Berbagai kesiapan telah dilakukan, mulai dari infrastruktur hingga regulasi.

Menariknya, dunia akademisi juga ikut concern dalam menyikapi adanya perkembangan EV, yang perlahan tapi pasti terus bertumbuh. Baik dari sisi pemain, maupun jumlah unit yang diproduksi.

Hal itu tergambar dalam webinar yang diselenggarakan Forum Diskusi Salemba, Sabtu (20/11). Andre Rahadian, Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) menekankan, pentingnya  Indonesia berperan dalam ekosistem industri EV. 

BACA: Menyoal Sejarah Mobil Listrik di Dunia dan Potensinya di Indonesia

Apalagi setelah mengikuti COP26 dan Presidensi G-20. Banyak yang bisa dilakukan Indonesia sebagai negara, untuk turut andil dalam pertumbuhan EV. Jumlah penduduk besar, sumber daya yang banyak, walaupun di sisi lain juga pengimpor bensin.

“Sangat penting tercipta satu ekosistem, untuk membangun keberhasilan perkembangan EV di Indonesia. UI harus berkontribusi besar dalam menciptakan ekosistem tadi. Kita pahami, banyak terobosan lahir dari universitas”, imbuhnya. 

Membangun ekosistem EV, perlu peran besar dari kampus dan alumninya yang tersebar di banyak sektor. “Bagaimana kita memperkenalkan EV dari hulu ke hilir. Mengkomunikasikan kepada masyarakat manfaat EV, termasuk insentif pajak yang ditetapkan pemerintah,” urainya.

Apa yang dikatakan Andre memang bukan tanpa alasan. Indonesia sangat mungkin untuk menjadi pemain global di industri kendaraan listrik, karena memiliki kemampuan sumber daya terintegrasi dari hulu ke hilir. 

Indonesia begitu kaya akan biji nikel, yang menjadi bahan baku dari pembuatan baterai EV. Artinya, Indonesia bisa menjadi sentra industri EV, di Asia Pasifik, bahkan Australia. Kendati perlu disadari, membuat baterai EV tidak mudah. 

Oleh sebab itu Indonesia Battery Corporation (IBC), bekerja sama dengan mitra konsorsium, yakni LG Group dari Korea Selatan, dan Contemporary Amperex Technology Co. Ltd (CATL) dari Tiongkok mulai merealisasikannya.

Mewakili pemerintah, IBC sudah membuat road map. Karena faktanya, butuh 4-5 tahun untuk bisa memproduksi baterai. Ada beberapa hal yang akan dilakukan IBC, antara lain untuk tahap awal, mendorong pasar roda empat, selanjutnya baru roda dua. 

“Investasi yang kita keluarkan hampir USD 15,4 miliar, dan butuh waktu 3 - 4 tahun untuk membangun industrinya. Keuntungan kita adalah, semua sudah terintegrasi di Indonesia. Hanya nilai komersialnya harus dikejar, yang paling optimal dan paling baik untuk Indonesia,” kata Toto Nugroho, Presiden Direktur Indonesia Battery Corporation (IBC).  

Bila ditinjau dari sudut pandang ekonomi, Toto Pranoto, Pengamat Ekonomi UI mengatakan, masyarakat global sendiri mulai beralih ke EV. Data mencatat penjualan EV di dunia naik 43% pada 2020, dengan penjualan hingga 3,2 juta unit. 
Banyak pabrikan dunia sudah menargetkan segera masuk ke pasar EV. Norwegia bahkan menargetkan tahun 2025 negaranya 100% menggunakan EV. 

Bagaimana Indonesia? Tinggal kita bisa mengembangkan manufaktur nasional. Sehingga mendorong industri yang menghasilkan produk atraktif bagi konsumen, dan harga yang kompetitif dengan produk asing. 

Dukungan insentif dari pemerintah juga penting. Seperti soal insentif PPnBM bagi EV, pengecualian nomor ganjil-genap yang diterapkan Pemprov DKI, hingga pemotongan biaya operasional dari PLN. 

“Artinya, dengan harga kompetitif dan dukungan kemudahan lain, menjadikan minat masyarakat untuk membeli EV akan lebih baik,” kata Pranoto. 

Toto kembali menambahkan, penggunaan EV sangat banyak manfaatnya bagi lingkungan hidup dan juga ekonomi. Misalnya manfaat untuk lingkungan, hanya dengan konversi 30% saja dari bahan bakar minyak ke EV, bisa mengurangi impor secara signifikan hampir Rp 2-3 miliar setahun.

BACA JUGA: GM Rancang Baterai dengan Ketahanan Satu Juta Kilometer

“Kita harus segera beralih ke EV, dan menggunakan baterai yang kita produksi sendiri. Sudah dilakukan riset, baterai produksi nasional dapat bertahan 8 tahun, dan bisa didaur ulang 80%”, tandasnya. 

Mewakili konsumen, Fitra Eri, alumni UI yang juga youtuber otomotif mengatakan, isu lingkungan belum cukup untuk jadi poin utama konsumen beralih ke EV. Value yang ada saat ini belum bisa menggoda orang Indonesia untuk membelinya. 

Memilih kendaraan, umumnya konsumen tak terlalu pusing soal isu lingkungan. Bagi konsumen, nilai ekonomis yang utama. Mobil listrik harganya masih di atas Rp1 miliar. Mahal. 

“Kalau ada konsumen beli mobil listrik, bukan karena sadar lingkungan, tapi penasaran, layak enggak sih pindah ke mobil listrik. Ujung-ujungnya perhitungan ekonomi”, ungkap Eri.  

Jika dibanding Norwegia, dimana 9 dari 10 kendaraan di sana adalah EV, maka Indonesia masih sangat jauh. Pemerintah sana bikin harga mobil EV tak beda jauh dengan mobil bermesin pembakaran dalam. Bahkan kendaraan non EV, akan kena pajak lebih tinggi. 

Karenanya di Indonesia mobil listrik harus ekonomis. Diperkuat regulasi pemerintah, dengan banyak insentif serta infrastruktur juga penting, agar EV bisa dikendarai keluar kota. “Buat saya cukup lama memakai EV, mengendarainya sangatlah menyenangkan. Saya harap, industri EV bisa lebih cepat tumbuh dari yang kita perkirakan”, ucapnya.
 


(acf)